Pusat Pembangunan Pondok Berhad

Pondok Studies Development Centre

Archive for the ‘Klinik Agama’ Category

Kenapa kena kahwin?

Posted by epondok di Januari 12, 2023

Kenapa Harus Menikah? (wajib baca bagi yang takut nikah)

Berikut beberapa alasan mengapa harus menikah?, semoga bisa memotivasi kaum muslimin untuk memeriahkan dunia dengan menikah.

1. Melengkapi agamanya

“Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim).

2. Menjaga kehormatan diri
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih mudah menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya. (HSR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasaiy, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

3. Senda guraunya suami-istri bukanlah perbuatan sia-sia
“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, senda gurau, dan permainan, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.”

… Hidup berkeluarga merupakan ladang meraih pahala…

4. Bersetubuh dengan istri termasuk sedekah

Pernah ada beberapa shahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka bisa shalat sebagaimana kami shalat; mereka bisa berpuasa sebagaimana kami berpuasa; bahkan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah memberikan kepada kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Pada tiap-tiap ucapan tasbih terdapat sedekah; (pada tiap-tiap ucapan takbir terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahlil terdapat sedekah; pada tiap-tiap ucapan tahmid terdapat sedekah); memerintahkan perbuatan baik adalah sedekah; mencegah perbuatan munkar adalah sedekah; dan kalian bersetubuh dengan istri pun sedekah.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kok bisa salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila nafsu syahwatnya itu dia salurkan pada tempat yang haram, apakah dia akan mendapatkan dosa dengan sebab perbuatannya itu?” (Mereka menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda,) “Demikian pula bila dia salurkan syahwatnya itu pada tempat yang halal, dia pun akan mendapatkan pahala.” (Beliau
kemudian menyebutkan beberapa hal lagi yang beliau padankan masing-masingnya
dengan sebuah sedekah, lalu beliau bersabda, “Semua itu bisa digantikan cukup dengan shalat dua raka’at Dhuha.”)

5. Adanya saling nasehat-menasehati

6. Bisa mendakwahi orang yang dicintai

7. Pahala memberi contoh yang baik
“Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barang siapa yang pertama memberi contoh perilaku jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan mendapatkan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Orang yang pertama kali melakukan kebaikan atau kejahatan.)

Bagaimana menurut Anda bila ada seorang kepala keluarga yang memberi contoh perbuatan yang baik bagi keluarganya dan ditiru oleh istri dan anak-anaknya? Demikian juga sebaliknya bila seorang kepala keluarga memberi contoh yang jelek bagi keluarganya?

8. Seorang suami memberikan nafkah, makan, minum, dan pakaian kepada istrinya dan keluarganya akan terhitung sedekah yang paling utama. Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Satu dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (HR Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud., ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk kendaraan di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu teman seperjuangan di jalan Allah.”(HR. Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

Seorang suami lebih utama menafkahkan hartanya kepada keluarganya daripada kepada yang lain karena beberapa alasan, diantaranya adalah nafkahnya kepada keluarganya adalah kewajiban dia, dan nafkah itu akan menimbulkan kecintaan kepadanya.

Muawiyah bin Haidah RA., pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap salah seorang di antara kami?” Beliau menjawab dengan bersabda, “Berilah makan bila kamu makan dan berilah pakaian bila kamu berpakaian. Janganlah kamu menjelekkan wajahnya, janganlah kamu memukulnya, dan janganlah kamu memisahkannya kecuali di dalam rumah. Bagaimana kamu akan berbuat begitu terhadapnya, sementara sebagian dari kamu telah bergaul dengan mereka, kecuali kalau hal itu telah dihalalkan terhadap mereka.”

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA., dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud kamu mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyianyiaka orang yang harus diberi belanja.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

Dan akan diganti oleh Allah, ini janji Allah.

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya.”
(Saba’: 39).

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Setiap pagi ada dua malaikat yang datang kepada seseorang, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.” Dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim, Buku Riyadush Shalihin Bab Memberi nafkah terhadap keluarga).

9. Seorang pria yang menikahi janda yang mempunyai anak, berarti ikut memelihara anak yatim

Janji Allah berupa pertolongan-Nya bagi mereka yang menikah.

1. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32)

2. Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.(HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)

Posted in Amalan Pilihan, Klinik Agama | 1 Comment »

Sejarah dan hukum sambut Maulidurrasul s.a.w

Posted by epondok di Oktober 12, 2022

MAKAM Rasulullah di Masjid Nabawi, Madinah yang menjadi tumpuan dan ziarah umat Islam dari seluruh dunia.

MAULID berasal dari perkataan Arab yang bermakna melahirkan terutamanya merujuk kepada kelahiran bayi.

Namun dalam konteks hari ini ia dirujuk khusus kepada hari keputeraan Nabi Muhammad iaitu pada 12 Rabiulawal setiap tahun.

Sejarah ringkas

Sambutan Maulidur Rasul telah diasaskan oleh kerajaan Fatimiah di Mesir yang meraikannya secara besar-besaran.

Mereka bukan sahaja meraikan hari keputeraan Rasulullah, tetapi juga yang membabitkan ahli keluarga baginda Zainab, Hassan, Hussain.

Walau bagaimanapun, semua perayaan ini telah dihentikan pada tahun 488 H atas perintah Perdana Menteri, al-Afdal Shahindah yang berpegang kuat pada sunnah seperti tercatit di dalam buku Al-Kamel, karangan Ibnu Al-Atheer.

Ia berhenti diraikan sehingga Al-Ma’moon Al-Bataa’ni memegang kuasa kerajaan.

Apabila kerajaan al-Ayubbiyyah merampas kuasa, semua perayaan itu sekali lagi dihentikan.

Namun begitu, masyarakat tetap merayakannya di kalangan keluarga mereka secara tertutup.

Pada Abad ke-7, Putera Muzafar Al-Deen Abi Sa’d Kawakbri Ibn Zein Ed-Deen ‘Ali- Ibn Tabakatikin telah mewartakan perayaan Maulid Nabi di Bandar Irbil.

Muzafar yang merupakan seorang sunni mengambil berat akan perayaan Maulidur Rasul hingga memerintahkan persediaan seperti mendirikan khemah, menghias khemah dan pelbagai lagi dilaksanakan seawal dan sebaik mungkin.

Setiap kali selepas solat Asar, Muzafar akan menyaksikan perayaan itu dalam khemah yang telah didirikan.

Hujah membolehkan Maulidur Rasul

Antara ulama yang menyokong Maulidur Rasul terutamanya Imam Jalaluddin Sayuti dan Sheikh Dr. Yusuf Al Qaradawi.

Imam Jalaluddin Sayuti:

“Ibadat macam itu adalah bidaah hasanah (bidaah baik) yang diberi pahala mengerjakannya kerana dalam amal ibadat itu terdapat suasana membesarkan Nabi, melahirkan kesukaan dan kegembiraan atas lahirnya Nabi Muhammad SAW yang mulia”.

Sheikh Dr. Yusuf al Qaradawi: “Semua telah sedia maklum bahawa sahabat-sahabat Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran Rasulullah.

“Ini kerana mereka telah menyaksikan secara langsung setiap gerak-geri Rasulullah dan seterusnya ingatan terhadap Rasulullah itu kekal di dalam hati dan juga ingatan.

“Sa’d bin Abi Waqas mengatakan bahawa beliau begitu ghairah untuk menceritakan mengenai Rasulullah kepada kanak-kanak sama seperti mana keghairahan mereka mendidik anak-anak itu mengenai al-Quran.

“Oleh kerana mereka sering menceritakan sejarah perjuangan Rasulullah, maka tidak perlulah merayakan seperti mana dirayakan Maulid Rasul kini.

“Bagaimanapun, generasi terkemudian telah mula melupakan kegemilangan sejarah Islam dan kesannya.

“Dengan itu, perayaan Maulid Rasul diadakan bertujuan mengingati sejarah Islam ketika Rasulullah masih hidup. Sebenarnya, meraikan hari kelahiran nabi bermakna meraikan hari kelahiran Islam.

“Maka dibolehkan meraikan Maulid nabi ini dengan syarat tidak dicampur-adukkan dengan perkara-perkara bidaah. Tetapi sebaliknya diisi dengan ceramah yang menceritakan akan sejarah Islam”.

Antara dalil bagi yang membolehkan Maulid ini:

1) Allah berfirman yang bermaksud: Maka orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw) memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran) mereka itulah yang beruntung. (al-A’raf: 157)

Keterangan: Tujuan maulud adalah untuk memuliakan Nabi Muhammad. Maka perayaan maulud masuk dalam umum ayat tersebut.

2) Firman Allah yang bermaksud: Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah. (Ibrahim: 5)

Keterangan: Al-Baihaqi di dalam Syakbu al-Iman daripada Ubai bin Kaab daripada Nabi SAW, sesungguhnya baginda menafsirkan ‘hari-hari Allah’ adalah hari-hari nikmat dan kurniaan Allah. Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani menjelaskan lagi dengan katanya “kelahiran Nabi merupakan nikmat yang paling besar”.

3) Bahawasanya Nabi Muhammad datang ke Madinah maka beliau mendapati orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura iaitu hari 10 Muharam, maka Nabi bertanya kepada orang yahudi itu: “Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura?” Jawab mereka: “Ini adalah hari peringatan, pada hari itu dikaramkan Firaun dan pada hari itu Musa dibebaskan, kami berpuasa kerana bersyukur kepada Tuhan”.

Maka Nabi berkata: “Kami lebih patut menghormati Musa berbanding kamu”. (riwayat Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-Asqalani pengarang Syarah Bukhari yang bernama Fathul Bari berkata, bahawa dari hadis itu dapat dipetik hukum: Umat Islam dibolehkan bahkan dianjur memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar umpamanya hari-hari Maulud, Israk dan Mikraj dan lain-lain.

– Nabi pun memperingati hari karamnya Firaun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa asyura sebagai bersyukur atas hapusnya yang batil dan tegaknya yang hak.

Posted in Amalan Pilihan, Klinik Agama | 2 Comments »

Jawapan Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w

Posted by epondok di Oktober 10, 2022

http://madinatulilmi.com

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.

Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?

Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.

Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.

Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Dalil-dalil Maulid

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .

Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)

Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “

Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.

Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

Posted in Fokus Isu, Klinik Agama | 1 Comment »

Dalil wajib kita mencintai nabi Muhammad s.a.w

Posted by epondok di Oktober 8, 2022

Berbekalkan keyakinan bahawa manhaj risalah dan dakwah Islamiah yang sebenar adalah berteraskan perasaan cinta dan kasih yang mendalam kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, ruangan ini pada minggu lepas telah mengimbau mengenai hakikat kasihnya Rasulullah SAW terhadap umatnya dan pengorbanan yang telah Baginda SAW sembahkan sebagai tanda cinta dan kasih kepada umatnya.Maka wajarlah pada kali ini, jika kita menyambung bicara tentang kewajipan kita pula sebagai Umat Nabi Muhammad SAW membalas kasih Rasulullah SAW terhadap kita serta mencintai Baginda SAW seperti yang selayaknya.

Hakikat bahawa Rasulullah SAW wajib dikasihi dengan sebenar-benarnya sangat jelas di sisi syarak. Ia sebagaimana yang termaktub dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis, yang merupakan sumber agama yang wajib dipatuhi oleh setiap orang yang bergelar Muslim.

Di samping perintah yang terang nyata dalam nas-nas wahyu, akal dan fitrah yang sihat juga sangat kuat mendukung keperluan dan kepentingan kita mencintai dan mengasihi Rasulullah SAW.

Oleh itu, mencintai Nabi SAW adalah suatu yang wajib baik dari sudut naqli (wahyu) mahupun aqli (logik).

Dalil Naqli

Bagi seorang Muslim yang taat, setiap nas wahyu sama ada daripada al-Quran mahupun sunnah yang sahih adalah perintah dan arahan dari Tuhan yang dengan segera dan bersemangat dijunjung dan dipatuhi.

Apatah lagi jika perintah itu datang dalam nada yang tegas dan diiringi amaran. Nada inilah yang jelas dapat kita rasakan pada ayat yang memerintahkan kita mencintai dan mengutamakan Nabi SAW dalam surah al-Taubah, ayat 9 yang bermaksud: Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika bapa-bapa kamu, dan anak-anak kamu, dan saudara-saudara kamu, dan isteri-isteri (atau suami-suami) kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu bimbang akan merosot, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, (jika semuanya itu) menjadi perkara-perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab seksa-Nya); kerana Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq (derhaka).

Dalam ayat ini, Allah SWT memberi ancaman dan menjanjikan balasan azab-Nya bagi orang yang mengasihi keluarga dan harta bendanya melebihi kecintaannya terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.

Mereka juga ditakutkan dengan gelaran fasiq yang memang sangat dibenci oleh setiap jiwa yang beriman. Ancaman dan balasan azab dalam ayat sepatutnya sudah mencukupi sebagai motivasi, peringatan, dalil yang jelas dan hujah yang kuat bagi menunjukkan thabitnya kewajipan mengasihi Nabi SAW, membesarkan kedudukan Baginda SAW, dan tuntutan melaksanakan hak mengasihinya dengan sempurna.

Jika kita merujuk kepada nas-nas Sunnah pula, walaupun kita mengenali Rasulullah SAW sebagai insan yang paling tawaduk dan paling tidak mementingkan diri, baginda SAW tiada pilihan melainkan menyampaikan dengan jelas dan tegas kewajipan kita menyintai dirinya dan mengutamakannya kerana ia adalah antara inti, rahsia dan pokok ajaran agama ini.

Di antara pesanan dan perintah yang sangat jelas daripada Rasulullah SAW dalam hal ini ialah: Tidak dianggap sempurna Iman seseorang daripada kamu sehinggalah aku lebih dicintainya daripada anaknya, bapanya dan sekalian manusia. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis ini penanda aras kesempurnaan Iman itu sendiri turut diukur berdasarkan tahap kecintaan dan kasih terhadap baginda SAW.

Sudah tentu kita tidak reda keimanan kita cacat dan tidak sempurna apatah lagi jika sebabnya adalah kegagalan kita melakukan sesuatu yang seindah dan semulia menyintai insan teristimewa, Nabi kita Muhammad SAW.

Di ketika yang lain, sunnah merakamkan dialog penuh makna antara Rasulullah SAW dan Saidina Umar al-Khattab r.a. Saidina Umar diriwayatkan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau lebih aku cintai daripada mana-mana manusia yang ada di dunia ini melainkan jiwaku yang berada di dalam jasadku”.

Kata-kata Umar RA ini disambut oleh Rasulullah SAW dengan tegas: “Tiada sesiapapun yang benar-benar menjadi Mukmin sejati sehinggalah aku lebih dicintainya walaupun daripada dirinya sendiri”.

Mendengarkan sabda yang mulia ini, Umar r.a lantas berkata: “Demi Tuhan yang menurunkan Kitab kepadamu, sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku yang berada di dalam jasadku”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Sekarang (barulah kamu mempunyai iman yang sempurna) wahai Umar!” (riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Selain hadis-hadis yang mengikat iman dengan kecintaan terhadap Nabi SAW, kita juga menemukan hadis-hadis yang menjadikan cintakan Nabi SAW sebagai pra-syarat bagi mendapatkan matlamat-matlamat sehebat kemanisan iman dan seagung dapat bersama dengan Nabi SAW dalam syurga Allah SWT.

Rasulullah SAW diriwayatkan bersabda, Sesiapa yang terdapat di dalam dirinya tiga perkara ini, akan merasai kemanisan iman; Allah dan RasulNya lebih dikasihi daripada selain keduanya, dia mengasihi seseorang yang tidak dikasihinya melainkan kerana Allah dan dia berasa benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia berasa benci sekiranya dicampakkan ke dalam neraka. (riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Tirmizi dan Nasa’i di dalam Bab Iman)

Diketika yang lain seorang sahabat telah menanyakan baginda SAW, “Bilakah akan berlaku hari kiamat, wahai Rasulullah?” (Dia bertanya sedemikian seolah-olah berasa rindu kepadanya). Jawab baginda SAW, “Apakah yang telah kamu sediakan untuk menghadapi hari kiamat?” Jawabnya, “Aku tidak bersedia menghadapinya dengan banyak melakukan solat, puasa (sunat) atau pun bersedekah tetapi aku amat kasih kepada Allah dan Rasul-Nya”. Sabda Baginda SAW, “Kamu akan bersama dengan orang yang kamu kasihi”. (riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)

Melihat nas-nas yang jelas di atas, apakah patut kita masih ragu-ragu atau lemah dalam berusaha membalas cinta kekasih yang unggul ini? Bijakkah kita jika masih menjulang cinta dunia melebihi cinta kita terhadap Nabi SAW?

Dalil Akal dan Fitrah

Selain kalam wahyu Qurani dan Nabawi, kewajipan dan keutamaan mencintai Nabi Muhammad SAW juga sangat selari dengan setiap akal yang salim dan segala fitrah yang sejahtera.

Lazimnya perasaan kasih adalah kecenderungan hati terhadap apa yang disamai atau disepakati sesama manusia sama ada persamaan atau kesesuaian pada fitrah semulajadi manusia ataupun hukum syarak.

Di antara persamaan yang menyebabkan terhasilnya kecenderungan dan kasih ini ialah:

lKelazatan atau tarikan yang dirasai dan ditanggapi oleh pancaindera yang zahir terhadap sifat-sifat luaran orang yang dikasihinya seperti tarikan kepada rupa paras atau gambaran yang cantik, suara yang lunak, makanan dan minuman yang lazat. Semuanya ini, adalah kecenderungan semulajadi pada fitrah yang sejahtera.

Kecenderungan atau tarikan yang dipandu dan dilahirkan oleh akal dan hati yang sejahtera terhadap sifat-sifat dalaman yang mulia dan baik yang dimiliki oleh seseorang yang dikasihi seperti suka atau kasih kepada orang-orang soleh, para ulama, ahli kebajikan yang dikhabarkan tentang perjalanan hidup mereka yang indah dan akhlak mereka yang baik.

Fitrah manusia yang cenderung untuk mengasihi golongan ini mampu menghasilkan rasa keterikatan dan komitmen yang tinggi yang jika disalurkan dengan betul boleh menghasilkan kerja-kerja besar dan hebat.

Perasaan suka dan kecenderungan yang lahir disebabkan oleh rasa terima kasih terhadap kebaikan seseorang dan nikmat-nikmat yang telah diterima daripadanya.

Sesungguhnya menjadi tabiat jiwa manusia, suka dan kasih kepada orang yang berbuat baik terhadapnya.

Jika kita meninjau faktor-faktor timbulnya cinta di atas pada diri Rasulullah SAW yang mulia, ternyata pada diri Baginda SAW terhimpun ketiga-tiga faktor tersebut sehingga mewajibkan secara aqli dan fitri Baginda SAW dikasihi dan dicintai oleh kita semua.

Adapun kecantikan rupa paras dan lahiriah Nabi SAW, kesempurnaan akhlak dan batin baginda SAW, telah dicatatkan dengan tinta emas dalam sejarah dan khazanah ilmu dan tidak dipertikaikan sama sekali.

Sekiranya kita cenderung mengasihi seseorang yang melakukan kebaikan kepada kita di dunia walau cuma sekali-dua pun serta sangat terhutang budi kepada orang yang telah menyelamatkan kita daripada kebinasaan dan kemudaratan semasa kita mengalami kesusahan duniawi barang seketika.

Maka sudah tentu insan istimewa yang telah membuka kepada kita segala pintu nikmat dan kebaikan yang berkekalan serta menyelamatkan kita daripada azab api neraka yang dahsyat adalah lebih patut, lebih utama dan lebih layak mendapat kasih dan cinta kita.

Semoga Allah SWT dengan limpahan rahmat-Nya, berkenan menganugerahkan kita dengan cinta-Nya, cinta Rasul-Nya, dan menyubur-mekar dalam sanubari kita cinta tulus terhadap Rasulullah SAW sebagaimana yang selayak dan sewajarnya cinta suatu umat yang mulia kepada Nabinya yang agung, SAW. Wallahu a’lam.

Oleh Panel Penyelidikan, Yayasan Sofa Negeri Sembilan

Posted in Klinik Agama | Leave a Comment »

Berusaha dahulu sebelum tawakkal

Posted by epondok di Ogos 24, 2022

SETIAP orang beriman diperintahkan agar bertawakal kepada Allah SWT secara benar seperti diperintahkan agama. Jika tersalah memahami konsep tawakal, maka tentu saja akan membawa kepada kesesatan serta mengundang kemurkaan Allah SWT. Allah SWT menyuruh hamba-Nya bertawakal dapat kita melalui ayat berikut yang bermaksud:

“Kepada Allah hendaklah kamu bertawakal jika kamu benar-benar beriman” (Al-Ma-idah: 23)”. Ayat ini memberi penjelasan bahawa orang yang bertawakal itu sifat yang mesti ada pada setiap orang yang beriman. Tawakal yang dikehendaki dalam Islam bukanlah menyerah bulat-bulat kepada Allah SWT. Tawakal yang sebenarnya mestilah terlebih dulu berikhtiar dan usaha yang bersungguh-sungguh serta berterusan sehingga berjaya.

Walaupun begitu, masih ada segelintir manusia dalam masyarakat kita yang tersalah memahaminya, sehingga ada yang sanggup mengatakan manusia tidak perlu penat bekerja dan berusaha, serahkan saja pada Allah SWT, kerana semuanya ditentukan oleh-Nya sejak azali lagi. Tawakal begini adalah salah sama sekali dan menyeleweng daripada pengertian sebenar.

Pengertian yang sebenar tawakal menurut A.Z Abidin dalam bukunya Sunnah Allah dan Ikhtiar Manusia memberi penjelasan sebagai berikut: “…mengusahakan sesuatu dengan mempergunakan sebab-sebab yang lazim (sunnah Allah) serta mengharap pertolongan Allah SWT. Sebagai contoh, seorang yang sedang sakit, kalau ia mahu sembuh pergi berjumpa doktor (seorang ahli) untuk meminta nasihat (pertolongannya) dan menyerah dalam segala usahanya itu kepada Allah. Inilah tawakal.”

Untuk lebih jelas lagi mengenai pengertian tawakal, Rasulullah SAW didatangi orang Badawi dan berkata, “Bolehkah saya melepaskan unta saya, lalu saya bertawakal kepada Allah, wahai Rasulullah? Nabi menjawab: Tambatlah unta itu, lalu engkau bertawakal kepada Allah” (Al-Hadis).

Daripada penjelasan di atas maka bolehlah kita mengambil satu rumusan bahawa segala bentuk urusan atau pekerjaan yang dihadapi hendaklah berusaha terlebih dulu sebelum bertawakal kepada Allah SWT.

Sebagai manusia yang inginkan kejayaan dan kesejahteraan hidup, haruslah berusaha dan bekerja dengan tekun. Lantaran kesempurnaan hidup (di dunia dan di akhirat) tidak akan tercapai apabila ada sikap malas. Islam sama sekali tidak menghendaki umat-Nya menganggur dan berpeluk tubuh, hanya berserah buta kepada Allah SWT.

Posted in Amalan Pilihan, Klinik Agama | 1 Comment »

Wanita mempunyai hak menentukan calon suami

Posted by epondok di Ogos 16, 2022

Oleh Mohd Rizal Azman Rifin

ISLAM sangat memandang berat aspek pemilihan jodoh sehingga banyak keterangan Rasulullah SAW yang memperkatakan isu ini. Kesejahteraan dalam rumah tangga akan terpancar melalui kerukunan hidup bersama sepasang suami isteri apatah lagi apabila dikurniakan anak-anak.

Atas faktor itulah maka sejak dulu lagi, ibu bapa begitu berhati-hati dalam usaha mencari jodoh untuk anak gadis dengan seseorang lelaki. Walaupun begitu, Islam mempersiapkan garis panduan jelas dalam aspek perkahwinan buat anak-anak.
Tambahan pula dalam dunia moden hari ini, anak-anak termasuklah anak gadis kita mempunyai pilihan mereka sendiri dan mereka mempunyai cita rasa yang mungkin tidak disenangi ibu bapa. Maka tidak sunyi kita mendengar peristiwa anak-anak gadis lari dari rumah mengikut lelaki pilihan hatinya lantaran pinangan ditolak oleh ibu bapa.
Kita harus melihat aspek ini dari sudut yang tepat sebagaimana ditetapkan agama. Jangan bertindak terburu-buru dan di luar batasan yang dibenarkan. Sesungguhnya Islam menetapkan hak seorang wanita dalam perkara memilih calon suami.

Ini jelas sepertimana ingatan Rasulullah SAW yang bermaksud: “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Seorang gadis harus diminta izinnya oleh ayahnya mengenai dirinya. Adapun izin gadis itu diketahui menerusi sikap diamnya.” (Hadis riwayat Muslim)

Ulama bersependapat dalam masalah hak wanita dalam aspek pemilihan calon suami. Ini diakui sendiri oleh Imam Syafie, Ibnu Lailah, Imam Ahmad, Ishak dan ramai lagi yang mengatakan bahawa meminta izin daripada seorang gadis untuk mengahwinkannya adalah satu perintah agama.

Imam Abu Hanifah pula mengatakan, “Si wali diwajibkan meminta izin terlebih dulu daripada si gadis yang mencapai usia baligh. Adapun sabda Baginda SAW, “Adapun tanda izinnya adalah diamnya.”
Menurut pandangan umum memang karakter lumrah seorang gadis akan diam jika dia bersetuju akan dikahwinkan dengan lelaki yang ditawarkan kepadanya, akan tetapi kalau dia tidak setuju, maka dia akan menyatakan tidak bersetuju.

Banyak kes lari dari rumah akibat peminangan ditolak berlaku kerana ibu bapa terlalu memaksa anak gadisnya menyetujui pilihan mereka sedangkan dalam masa yang sama anak gadisnya sudah mempunyai pilihan hati sendiri.

Maka timbullah konflik jiwa mendalam terhadap anak gadis sehingga mengambil tindakan nekad melarikan diri untuk mengikuti lelaki pilihannya.

Jika situasi ini berlaku, maka sudah pasti ibu bapa juga akan menerima padah dan menanggung malu atas perbuatan anak gadisnya. Malah, tidak kurang juga terjadi insiden yang lebih parah apabila anak gadisnya melakukan perbuatan zina. Justeru, ibu bapa juga yang akan terpalit dosa.

Ibu bapa sebaiknya harus berunding dengan penuh hemah apabila hendak menetapkan sesuatu perkahwinan terhadap anak gadisnya. Berilah nasihat berguna kepada mereka agar memilih calon suami yang terbaik.

Anak-anak yang didedahkan dengan panduan memilih jodoh yang terbaik pasti tidak akan tersasar jauh dari memilih calon suami yang mempunyai kriteria dikehendaki agama.

Sebagai ibu bapa pula, mereka seharusnya mengikut petunjuk diajar Rasulullah SAW agar anak kita dapat mengharungi alam rumah tangga dalam keadaan rukun dan damai sekali gus mengangkat mereka menjadi seorang isteri solehah dan diredai Allah.

Posted in Klinik Agama | Leave a Comment »

Hukum orang Islam menyertai perayaan Bon Odori

Posted by epondok di Jun 13, 2022

Mukadimah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, utusan akhir zaman. Bayan Linnas kali ini akan mengulas isu yang timbul baru-baru ini berkaitan dengan program Festival Bon Odori yang dikatakan akan diadakan di Kompleks Sukan Negara Shah Alam pada 16 Julai 2022.[1] Isu ini telah mendapat liputan meluas sehingga mendapat perhatian pelbagai pihak yang berpandangan supaya umat Islam di negara ini tidak menyertai Festival Bon Odori kerana dikatakan mempunyai unsur-unsur keagamaan lain.[2] Selain itu ada pihak yang berpandangan bahawa perayaan ini hanyalah program kebudayaan dan harus bagi umat Islam untuk hadir dan bersama-sama merayakannya.

Pengenalan ringkas tentang Bon Odori

Obon atau Bon Odori adalah merupakan suatu perayaan orang Jepun yang beragama Buddha, sebagai simbolik merayakan kedatangan roh nenek moyang yang telah mati. Perayaan ini telah disambut di Jepun selama lebih daripada 500 tahun.[3] Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang akan datang ke dunia bagi menziarahi saudara mara mereka pada setiap tahun sewaktu perayaan Obon berlangsung.[4] Perayaan ini biasanya berlangsung selama 4 hari, iaitu pada hari ke 13 hingga ke 16 pada setiap bulan Ogos, tetapi ia berbeza mengikut tempat-tempat tertentu di Jepun.[5] Perbezaan ini berlaku kerana wujudnya perbezaan kalendar dalam menentukan bulan yang ketujuh. Berdasarkan kalendar solar, bulan yang ketujuh ialah bulan Julai. Manakala berdasarkan kalendar lunar, bulan yang ketujuh adalah bulan Ogos.[6]

Masyarakat Shinto mempercayai perayaan ini dimaksudkan untuk menyambut para leluhur yang datang dan menghibur serta menenangkan roh-roh yang datang kembali ke rumah mereka. Semasa perayaan ini, ahli keluarga akan berkumpul di rumah untuk meraikan roh-roh nenek moyang yang dikatakan kembali ke dunia ini bagi menziarahi saudara mara. Mereka juga biasanya melawat dan membersihkan kubur sambil berdoa. Sebuah Shoryodana (altar)[7], dibina dengan diisi buah-buahan, kemenyan, dan bunga untuk menyambut nenek moyang. Api juga dinyalakan untuk memandu nenek moyang untuk pulang ke rumah dan pada hari terakhir perayaan, tanglung kertas (coachin paper lantern) digantung bagi membantu nenek moyang pulang ke kubur masing-masing. Ada juga yang menggunakan tanglung terapung (floating lanterns) dan dilepaskan ke laut untuk membantu nenek moyang kembali ke alam mereka.[8]

Advertisementhttps://cdn.bannersnack.com/banners/bxk8yhzgs/embed/index.html?t=1654994897&userId=43386868&responsive=true

Selari dengan peredaran masa, perayaan Bon Odori disambut hanya sebagai tradisi dan kebudayaan Buddha-Confucius dengan aktiviti perkumpulan keluarga pada musim cuti, namun di sesetengah daerah pedalaman sambutan ini masih dianggap sebagai sebahagian daripada ritual keagamaan.[9]

Hukum orang Islam menyertai perayaan Bon Odori

Pada asasnya umat Islam adalah ditegah untuk menyertai apa-apa perayaan agama lain. Para ulama telah bersepakat bahawa hukum menyertai perayaan agama lain, sama ada dengan ucapan atau tindakan pada pakaian, makanan atau minuman yang dikhususkan pada hari perayaan tersebut adalah haram jika bertujuan untuk mengagungkan hari perayaan mereka, bahkan majoriti ulama berpendapat bahawa seorang muslim yang mengagungkan syiar-syiar agama lain boleh jatuh ke lembah kekufuran. Manakala individu muslim yang tidak berniat untuk mengagungkannya adalah berdosa, namun tidak sampai ke tahap kufur.[10] 

Dalam surah al-Furqan, Allah SWT memuji golongan yang tidak menghadiri hari perayaan orang-orang musyrik. Firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Maksudnya: “Dan mereka (yang diredhai Allah itu ialah orang-orang) yang tidak menghadiri tempat-tempat melakukan perkara-perkara yang dilarang, dan apabila mereka bertembung dengan sesuatu yang sia-sia, mereka melaluinya dengan cara membersihkan diri daripadanya”. (Al-Furqan: 72)

Sebahagian ulama salaf seperti Abu al-‘Aliah, Tawus, Muhammad bin Sirin, al-Dahhak, al-Rabi’ bin Anas dan lain-lain menafsirkan kalimah al-zur dalam ayat di atas sebagai hari-hari perayaan orang musyrik.[11] Oleh yang demikian, dapat difahami daripada ayat ini bahawa Allah SWT memuji individu-individu yang tidak menghadiri perayaan orang-orang musyrik.

Dalam surah al-Maidah, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Maksudnya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani itu sebagai teman rapat, kerana setengah mereka menjadi teman rapat kepada setengahnya yang lain; dan sesiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman rapatnya, maka sesungguhnya ia adalah dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang berlaku zalim. (Al-Maidah: 51)

Menurut para ulama, apa yang dimaksudkan teman rapat disini adalah menyerupai (tashabbuh) mereka dan membesarkan hari-hari perayaan mereka.[12]

Menurut seorang ulama mazhab Shafi’i, Hibatullah bin al-Hasan al-Lalaka’i:

وَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَن يَحْضُرُوا أَعْيَادَهُمْ لِأَنَّهُمْ عَلَى مُنْكَرٍ وَزُورٍ, وَإِذَا خَالَطَ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ أَهْلَ المًنْكَرِ بِغَيْرِ الْإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ كَانُوا كَالرَّاضِينَ بِهِ وَالْمُؤَثِّرِينَ لَهُ، فَنَخْشَى مِنْ نُزُولِ سَخَطِ اللهِ عَلَى جمَاَعَتِهِم فَيَعُمَّ الْجَمِيعَ، نَعُوذُ بِاللهِ مِن سَخَطِهِ

Maksudnya: “Umat Islam tidak dibenarkan untuk menghadiri perayaan-perayaan mereka (golongan bukan Islam) kerana mereka berada dalam kemungkaran dan kebatilan. Apabila golongan yang baik bercampur dengan golongan mungkar (dengan) tanpa mengingkari mereka, maka mereka seperti redha dan terpengaruh dengan ahli mungkar tersebut. Kami bimbang kemurkaan Allah turun ke atas ke atas kelompok mereka, lalu terkena pada semua. Kami memohon kepada Allah daripada kemurkaan-Nya”.[13]

Al-Imam al-Damiri pula menjelaskan tentang hukuman yang selayaknya menurut syarak bagi mana-mana individu Muslim yang menyertai perayaan bukan Islam, kata beliau:

يُعَزِّرُ مَن وَافَقَ الكُفَارَ فِي أَعْيَادِهِم

Maksudnya: Dihukum ta’zir bagi sesiapa yang mengikuti orang-orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka.[14]

Selain itu, menurut Abu Hafs al-Kabir, ulama mazhab Hanafi,

لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ وَحَبَطَ عَمَلُهُ

Maksudnya: Jika seorang lelaki menyembah Allah selama 50 tahun lamanya, kemudian tibanya Hari Nairuz dan dia menghadiahkan sebiji telur kepada sebahagian golongan musyrikin dengan tujuan mengagungkan hari tersebut, maka telah jatuh kafir dan terhapus amalannya.[15]

Ibn al-Haj al-Maliki juga secara ringkasnya turut berpendapat bahawa orang Islam ditegah melakukan apa yang orang bukan Islam lakukan di hari perayaan mereka.[16] Selain itu, Abu al-Qasim berpandangan bahawa tidak harus bagi orang Islam menghadiri perayaan orang bukan Islam kerana ia merupakan suatu kemungkaran.[17]

Garis Panduan Orang Islam Turut Merayakan Hari Kebesaran Agama Orang Bukan Islam

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan bagi Hal Ehwal Ugama Islam (MKI) Kali Ke-68 yang bersidang pada 12 April 2005 telah membincangkan Garis Panduan Orang Islam Turut Merayakan Hari Kebesaran Agama Orang Bukan Islam telah memutuskan:

1) Beberapa ketetapan kriteria perayaan orang bukan Islam yang boleh dihadiri oleh orang Islam adalah sebagaimana berikut:

2) Majlis tersebut tidak disertakan dengan upacara-upacara yang bertentangan dengan akidah Islam.

3) Majlis tersebut tidak disertakan dengan perbuatan yang bertentangan dengan syarak.

Majlis tersebut tidak disertakan dengan perbuatan yang boleh “menyentuh sensitiviti masyarakat Islam”.

Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan pula dalam penjelasan berhubung hukum umat Islam menyambut Tahun Baru Cina sebelum ini turut menggariskan beberapa kriteria sepertimana yang telah diputuskan oleh Muzakarah MKI, dengan tambahan seperti berikut:

1. Majlis tersebut tidak disertakan dengan “perbuatan yang bercanggah dengan pembinaan akhlak dan budaya masyarakat Islam” di negara ini. Maksud “bercanggah dengan pembinaan akhlak dan budaya masyarakat Islam” ialah sesuatu perkara, perbuatan, perkataan atau keadaan yang jika dilakukan akan bertentangan dengan nilai dan norma kehidupan masyarakat Islam Negara ini yang berpegang kepada ajaran Islam berdasarkan Ahli Sunnah Wal Jamaah.

2. Pihak penganjur dan orang ramai diminta mendapatkan pandangan pihak berkuasa agama sebelum menganjur atau menghadiri majlis perayaan orang yang bukan beragama Islam.[19]

Berasaskan huraian ini, umat Islam dinasihatkan agar tidak melibatkan diri dalam apa-apa perayaan golongan bukan Islam apatah lagi mengikuti ritual-ritual mereka yang bercanggah dengan prinsip Islam serta mengagungkan syiar agama mereka agar tidak membawa fitnah kepada agama Islam.

Mengenai perayaan Bon Odori, walaupun dikatakan ia telah berevolusi sebagai hanya semata-mata perayaan yang bersifat kebudayaan dengan aktiviti sosial kekeluargaan, namun umat Islam wajib mematuhi hukum-hakam syarak dalam menghadiri sesuatu majlis atau tempat perayaan. Sekiranya dalam majlis berkenaan ada unsur-unsur yang bertentangan dengan syarak seperti pergaulan bebas, mendedahkan aurat, meminum arak dan sebagainya, maka wajib bagi umat Islam menghindarkan diri dari terlibat dalam aktiviti berkenaan.

Walau bagaimanapun adalah dicadangkan satu kajian lebih lanjut dilaksanakan untuk memastikan kedudukan sebenar perayaan ini dalam realiti pelaksanaannya pada hari ini sama ada ia masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan yang bersifat keagamaan atau semata-mata kebudayaan yag telah terputus dari kepercayaannya yang asal. Ini bagi memastikan sikap dan pendirian orang Islam terhadap Bon Odori adalah benar-benar menepati hukum syarak.

Berkaitan dengan isu ini, jika sekiranya ia semata-mata budaya, boleh merujuk kepada penjelasan kami terhadap isu-isu Orang Islam Menggantung Tanglung yang boleh dirujuk di link berikut:

https://muftiwp.gov.my/en/artikel/al-kafi-li-al-fatawi/5111-al-kafi-1854-hukum-orang-islam-menggantung-tanglung-tahun-baru-cina

[1] Bon Odori, The Japan Club of Kuala Lumpur, https://www.jckl.org.my/en/events/bon_odori, diakses pada 7 Jun 2022.

[2]Jangan hadir Festival Bon Odori, Berita Harian Online, https://www.hmetro.com.my/mutakhir/2022/06/849418/umat-islam-dinasihatkan-tidak-sertai-festival-bon-odori, diakses pada 7 Jun 2022.

[3] Bon-Odori (Bon Festival Dance), in hamamatsu.com, https://www.inhamamatsu.com/culture/bon-odori.php, diakses pada 7 Jun 2022.

[4] Japan-guide.com, Obon, https://www.japan-guide.com/e/e2286.html, diakses pada 8 Jun 2022.

[5] Bon-Odori (Bon Festival Dance), in hamamatsu.com, https://www.inhamamatsu.com/culture/bon-odori.php, diakses pada 7 Jun 2022.

[6] Japan RailPasss, guide to the Obon Festival 2021 in Japan, https://www.jrailpass.com/blog/obon-festival-in-japan, diakses pada 7 Jun 2022.

[7] Sejenis tempat sembahan untuk upacara pemujaan dan perjamuan suci.

[8] Bon Festival, New World Encyclopedia, https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Bon_Festival, diakses pada 8 Jun 2022.

[9] Geradia Teresya, Bon Odori, (Universitas Sumatera Utara, Medan: 2016), 4.

[10] Ali Wanis, alIhtifal bi A’yad al-Kuffar, hlm, 4

[11] Ibnu Kathir, Ismail bin Umar, Tafsir al-Quran al-‘Azim, (Dar Taiyyibah li al-Nasr wa al-Tauzi’, 1999), 6:130

[12] Al-Zahabi, Tashbih al-Khasis bi Ahl al-Khamis fi Raddi al-Tashabbuh bi al-Mushrikin, (Jordan, Dar Amman, 1988), 34

[13] Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakr, Ahkam Ahl al-Zimmah, (al-Damam: Ramadi li al-Nashr, 1997), 3:1245

[14] Al-Damiri, Muhammad bin Musa bin  Isa, al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj (Dar Minhaj: 2004), 9:244.

[15] Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad, Al-Bahr al-Ra’iq Syarh Kanz al-Daqa’iq (Dar al-Kitab al-Islami: tt), 8/555.

[16] Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad al-Abdari, al-Madkhal (Kaherah: Maktabah Dar al-Turath, tt), 2/46-48.

[17] Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Zimmah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah), 1/162.

[18] Mohd Rus, Merayakan Hari Kebesaran Agama Orang Bukan Islam Menurut Perspektif Islam, hlm, 90-92

[19] Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan, Bayan Linnas Siri ke 48, Islam dan Tahun Baru Cina, https://muftiwp.gov.my/en/perkhidmatan/artikel-soal-jawab/1829-bayan-linnas-siri-48-hukum-menyambut-tahun-baru-cina, diakses pada 10 Jun 2022

Posted in Fokus Isu, Klinik Agama | Leave a Comment »

Bertabarruk dengan peninggalan nabi, orang soleh

Posted by epondok di Jun 1, 2022

Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA, NEGERI SEMBILAN

JIKA sebelum ini kita membicarakan tentang kedudukan bertabarruk dengan kesan peninggalan nabi, kali ini kita kaji pula tentang bertabarruk dengan kesan-kesan para nabi terdahulu dan orang soleh selain mereka.

Kita akan mendapati bahawa perbuatan mengambil keberkatan dengan kesan-kesan mereka itu juga dibolehkan dan disokong oleh nas-nas dan pendapat para pakar.

Diriwayatkan daripada Nafi’: “Abdullah ibn Umar mengkhabarkan kepada kami bahawa sejumlah sahabat singgah bersama Rasulullah SAW di Hijir di negeri Thamud. Mereka mengambil air daripada perigi-perigi yang terdapat di sana dan mengadun roti dengan menggunakan air itu.”

Rasulullah lalu memerintahkan mereka supaya menumpahkan air yang mereka ambil (dari perigi-perigi itu) dan memberikan roti adunan itu kepada unta. Kemudian nabi memerintahkan mereka mengambil air dari perigi yang sering didatangi unta Nabi Hud. (riwayat Imam Muslim dalam kitab Al-Zuhd).

Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim: “Dalam hadis ini terkandung faedah bertabarruk dengan bekas peninggalan orang soleh. (Al-Nawawi, Syarh Muslim, 18: 112).”

Bertabarruk dengan Tabut

Allah SWT telah menyebut dalam al-Quran tentang kelebihan Tabut sebagaimana firman-Nya yang bermaksud: Dan Nabi mereka, berkata lagi kepada mereka: “Sesungguhnya tanda kerajaan Talut itu (yang menunjukkan benarnya dari Allah) ialah datangnya kepada kamu peti Tabut yang mengandungi (sesuatu yang memberi) ketenteraman jiwa dari Tuhan kamu, dan (berisi) sebahagian dari apa yang telah ditinggalkan oleh keluarga Nabi Musa dan Harun; peti Tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya peristiwa kembalinya Tabut itu mengandungi satu tanda keterangan bagi kamu jika betul kamu orang-orang yang beriman“. (al-Baqarah: 248)

Ringkasan kisah ini, bahawa peti Tabut tersebut ada pada Bani Israel. Mereka memohon pertolongan dengan keberkatan Tabut dan bertawassul kepada Allah melalui perantaraan barang-barang peninggalan yang terdapat dalam Tabut tersebut.

Inilah yang dinamakan bertabarruk dengan benda yang kita kehendaki dan maksudkan. Allah SWT telah menjelaskan tentang kandungan Tabut itu sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang bermaksud: Dan (berisi) sebahagian daripada apa yang telah ditinggalkan oleh keluarga Nabi Musa dan Harun.

Baki peninggalan itu adalah barang-barang yang ditinggalkan oleh keluarga Nabi Musa dan Harun iaitu tongkat Nabi Musa sebahagian pakaian baginda, pakaian Nabi Harun beserta kedua belah capalnya, Alwaah (batu bertulis) daripada kitab Taurat, dan mangkuk basuh tangan.

Perkara tersebut disebut oleh para ahli tafsir dan pakar sejarah seperti Ibnu Kathir, al-Qurtubi, al-Suyuti, dan al-Tobari. Maka rujuklah kepada (kitab-kitab) mereka dan ternyata ia menunjukkan kepada banyak makna.

Antaranya, bertawassul dengan peninggalan orang soleh. Di antaranya lagi, suruhan memelihara harta peninggalan seperti itu, dan di antaranya juga, menunjukkan perbuatan bertabarruk dengan barang-barang tersebut.

Bertabarruk dengan Masjid al-‘Asysyaar

Diriwayatkan daripada Soleh ibn Dirham, berkata: “Pada suatu hari, kami bertolak untuk menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba, seseorang berkata kepada kami: Berhampiran kalian ada sebuah kampung yang dipanggil al-‘Abilah?”

Kami menjawab: “Ya”. Dia berkata: “Siapa di antara kalian yang sanggup menjamin bagiku supaya aku dapat melakukan solat di Masjid al-‘Asysyaar sebanyak dua atau empat rakaat?” Kemudian dia berkata: “(Solat) ini (pahalanya) untuk Abu Hurairah r.a. (Abu Hurairah r.a pernah berkata:) “Aku pernah mendengar kekasihku, Abu al-Qasim (Nabi Muhammad) SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan dari Masjid al-‘Asysyaar pada hari kiamat syuhada; yang tidak bangkit bersama syuhada Badar itu selain mereka.”

Riwayat Abu Daud, dan beliau berkata: “Masjid ini terletak berhampiran sungai. (al-Tibrizi, Mishkat Masabih, 3: 5434).”

Berkata al-Allamah al-Muhaddith al-Kabir Sheikh Khalil Ahmad al-Saharanfuri, di dalam kitabnya, Bazl al-Majhud Syarh Sunan Abi Daud: “Di dalam hadis tersebut menunjukkan bahawa ketaatan yang dilakukan oleh badan seseorang, pahalanya boleh disampaikan kepada orang lain, dan bekas peninggalan orang-orang soleh dan muqarrabin boleh diziarah dan dijadikan alat untuk mengambil berkat. (Al-Saharanfuri, Bazl Al-Majhud, 17: 225).”

Al-Allamah al-Muhaddith Sheikh Abu al-Toyyib, penulis kitab ‘Aun al-Ma’bud, berkata: “Masjid al-‘Asysyaar adalah masjid terkenal yang sering dijadikan tempat solat untuk mengambil berkat.” (Al-‘Azim al-‘Abaadi, ‘Aun al-Ma’bud, 11: 422)

Daripada perbahasan di atas kita telah melihat pelbagai pendapat dan hujah yang mendokong perbuatan bertabarruk dengan kesan peninggalan orang soleh yang datang sebelum kita.

Cuma, kita perlu berhati-hati dengan mempastikan bahawa mereka itu benar-benar diakui kesolehan, tidak melanggar batas syarak dalam bertabarruk dan tidak meyakini bahawa bekas-bekas tersebut mampu memberi kesan dengan sendiri melainkan dengan izin dan kuasa Allah SWT jua. Wallahu a’lam.

Posted in Klinik Agama | Leave a Comment »

Kedudukan hadis maudhu’

Posted by epondok di Mei 30, 2022

Disediakan oleh Ust. Husin bn. Abdul Kadir

Ust. Husin

بسم الله الرحمن الرحيم …

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسوله وعلى آله و أصحابه ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد …

Risalah kecil ini adalah untuk membetulkan beberapa fahaman yang membingungkan masyarakat islam pada kurun ke-14 Hijriah ini, iaitu berkenaan hadith maudhu’. Pihak yang tidak bertanggungjawab suka melarang amalan-amalan islam yang mempunyai asal itu dengan menggunakan taktik memaudhu’kan hadith terhadap hadith hasan dan dhaif.Taktik-taktik sedemekian itu mendorong kearah memecahbelahkan umat islam. Disini saya ingin memberi penjelasan mengenai fahaman patut berpegang teguh berdasarkan sikap tidak melampau. 

DEFINISI HADITH MAUDHU’:

Hadith yang diada-adakan terhadap nabi baik berupa perkataan, perbuatan, pengiktirafan mahupun lain-lainnya dengan sengaja.

 

CARA-CARA PEMBUATAN HADITH MAUDHU’:

1)      Perawi membuat sesuatu perkataan daripada dirinya sendiri.

2)      Perawi mengambil perkataan orang lain.

 

SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG PEMBUATAN HADITH MAUDHU’:

1)      Menimbulkan kekacauan dalam agama islam.

2)      Tidak tahu tentang hal-ehwal hadith.

3)      Untuk membela kebenaran kefahamannya.

4)      Untuk memperoleh kekayaan.

5)      Mengikuti kehendak pembesar-pembesar supaya dapat mendampingi mereka.

6)      Untuk menarik perhatian orang.

HUKUM MERIWAYATKAN HADITH MAUDHU’:

            Meriwayatkan hadith maudhu’ secara mutlaknya adalah haram bagi orang yang mengetahui bahawa hadith tersebut maudhu’, kecuali jika disertai penjelasan tentang kepalsuannya. Oleh kerana itu

1)      Jika tidak mengetahui bahawa hadith itu maudhu’ dan secara tidak sengaja meriwayatkannya  maka tidaklah berdosa.

2)      Meriwayatkannya dengan tujuan mengingatkan orang bahawa ini adalah hadith palsu, maka tidaklah berdosa.

 

ISTILAH-ISTILAH DIGUNAKAN UNTUK HADITH MAUDHU’

1)      لا أصل له           : tidak ada asalnya

2)      لا يوجد له أصل    : tidak terdapat asal hadith ini

3)      لم أقف عليه          : saya tidak dapati hadith ini

4)      لم يعلم من أخرجه : tidak diketahui siapa yang mengeluarkan hadith ini

 

MENGENALI TANDA-TANDA PEMALSUAN HADITH

Terdapat beberapa tanda-tanda pemalsuan hadith dan pembohongan perawi-perawi diterangkan dalam kitab العجالة النافعة oleh muhaddith hindi Syah Abdul Aziz Bin Syah Waliyullah Al-Dahlawi:

1)      Dengan pengakuan perawinya itu sendiri, seperti pengakuan dibuat oleh  Abu ismah Nuh bin Abi Maryam yang mengaku memalsukan hadith-hadith berkenaan dengan kelebihan membaca Al-Quran.

2)      Dengan tanda-tanda yang didapati daripada diri keadaan perawi itu sendiri, seperti hanya:

a)      Ingin memuaskan hati sebahagian para pembesarnya dalam berdusta.

b)      Ingin menarik perhatian terhadap mereka (perawi).

c)      Ingin mencari dunia melalui menjual agama.

3)      Dengan tanda-tanda yang didapati daripada yang diriwayatnya seperti buruk susunan dan pengertiannya.

4)      Menyalahi dengan sebahagian keterangan Al-Quran, Hadith Mutawatir, Ijma’ Qat’ie{muktamad} atau dengan akal yang sejahtera.

5)      Perawi menyalahi dalam riwayatnya dengan sejarah yang masyhur.

Contoh:

a)      Berkata seseorang mengenai peperangan Siffin pada tahun 33H bahawa Abdullah bin Mas’ud berkata …….., “sedangkan Abdullah bin Mas’ud wafat sebelum peperangan Siffin pada zaman pemerintahan Uthman (R.A).

b)      Mua’wiyah (R.A) menumpahkan darah orang ramai semasa beliau melarikan diri daripada peperangan Jamal, sedangkan peperangan itu berakhir dengan secara damai. Jenis maudhu’ seperti ini dapat dikesan dengan mudah.

6)      Perawi adalah seorang rafedhi. Dia akan meriwayatkan hadith mengenai mencaci sahabat.

7)      Perawi adalah seorang nasebi. Dia akan meriwayatkan hadith mengenai mencaci keluarga nabi. Teruskanlah kiasan demikian itu.

8)      Perawi meriwayatkan hadith mengenai satu perkara yang wajib mengetahuinya dan beramal dengannya padahal dia menjadi tunggal meriwayatkan hadith itu, hanya ini adalah satu pendekatan yang amat ketara mengenai rawi itu pembohong atau pemalsu hadith.

9)      Perkara yang diriwayatkan oleh perawi bersalah-salahan dengan tuntutan agama dan akal. Dan juga dasar-dasar agama menyalahkannya seperti riwayat:

“لا تأكلوا البطيخ حتى تذبحوه”   

“Janganlah kamu makan buah tembikai sehinggakan kamu menyembelihinya”

10)  Dinyatakan dalam riwayat mengenai ancaman yang bersangatan terhadap dosa kecil atau janji pahala amat besar terhadap sedikit amalan yang baik, seperti:

a)      Menyebut pahala haji dan umrah bagi amalan yang terlalu sedikit.

b)      Barangsiapa sembahyang sunat dua raka’at, maka ia akan diberi 70, 000 buah rumah, pada setiap rumah ada 70, 000 katil. Di atas tiap-tiap satu katil berada 70, 000 anak dara. Maka hadith-hadith yang datang seperti cara-cara tersebut samada mengenai pahala dan dosa kesemuanya dianggap hadith maudhu’.

 

HADITH MAUDHU’ DITOLAK BULAT-BULAT WALAUPUN NIAT PEMALSU HADITH ITU AMAT BAIK.

 

            Perawi membuat keputusan untuk mereka-reka hadith dengan tujuan amat baik seperti berlaku dengan Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam yang mengada-ngadakan hadith berkenaan kelebihan-kelebihan tiap-tiap surah Al-Quran. Kemudian beliau mempopularkan hadith-hadith yang direka itu di kalangan orang ramai sehingga disambut dengan baik. Pengarang Tafsir Baidhawi tersilap memasukkan hadith-hadith itu pada tiap-tiap akhir surah sambil menyatakan pahala surah itu.

            Apabila ulama’ muhaddithin menyuarakan ketiadaan sahihnya hadith-hadith itu dan ulama’ meminta syarat yang sahih di sisi Nuh, maka beliau mengakui bahawa niatnya adalah elok dan keadaan sekitar yang memaksanya mengada-adakan hadith-hadith itu. Selanjutnya beliau menceritakan bahawa beliau mendapati orang ramai membiarkan membaca Al-Quran dan mula menyibuk bermutala’ah kitab-kitab tafsir, sejarah maghazi Abi Ishaq dan feqah Abu Hanifah, maka beliau mengambil keputusan untuk mengada-adakan hadith-hadith berbentuk menarik minat dan menakutkan supaya orang ramai mengambil berat membaca Al-Quran dan beramal kerana mengharapkan pahala-pahala itu dan merasa ketakutan seksaan-seksaan itu.

            Alasan yang diberi oleh Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam dan kenyataan tentang niat baiknya itu lebih teruk dan dahsyat daripada dosa kerana didapati banyak hadith sahih mengenai kelebihan-kelebihan membaca Al-Quran. Itupun sudah memadai bagi kami untuk menarik minat orang ramai.

PERSELISIHAN PENDAPAT ULAMA’ DALAM MENENTUKAN HADITH MAUDHU’

 

1)   حديث: من عير اخاه بذنب، لم يمت حتى يعمله

“Sesiapa yang mencela (memburuk-burukkan) saudara dengan sebab sesuatu dosa yang dilakukannya nescaya ia tidak meninggal dunia sehinggalah dia akan melakukan dosa itu.”

Ulasan:

Hadith ini dimaudhu’kan oleh setengah ulama’ sedangkan Imam Tirmizi menyatakan hadith ini sebagai hadith hasan.(الفوائد المجموعة)

2)   حديث: الموت كفارة لكل مسلم

“Kematian itu penghapus dosa bagi setiap orang muslim.”

Ulasan:

Ibnu Jauzi dan Saghani mengadakan hadith ini dalam senarai hadith maudhu’ sedangkan Ibnu Al-Arabi menegaskan hadith ini sebagai hadith sahih. Hafiz Al-Iraki pula berkata bahawa hadith ini datang dengan beberapa jalan periwayatan sehingga sampai darjat hasan.

Hafiz Ibnu Hajar berkata bahawa:

Hadith ini tidak memberi pengertian bahawa kematian itu adalah penghapus segala dosa-dosa muslim, bahkan ia membawa maksud penghapusan dosa-dosa hanya sekadar dikehendaki Allah Ta’ala sahaja. Maka hadith ini tidak bercanggah dengan nas.(الفوائد المجموعة: ص 268)

3)   حديث: القبر روضة من رياض الجنة أو حفرة من حفر النار

“Kubur itu merupakan sebuah taman di antara taman-taman syurga atau suatu lubang di antara lubang-lubang neraka.”

Ulasan:

Tidak tepat menyebutkan hadith ini dalam hadith maudhu’ kerana hadith ini diriwayatkan oleh imam Tirmizi dan Tabrani sebagai hadis dhaif. (الفوائد المجموعة: ص 269)

4)   حديث: اللهم أحيني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين

“Ya Allah hidupkan daku sebagai orang miskin dan matikanlah daku sebagai orang miskin serta himpunlah daku di dalam golongan orang miskin.”

Ulasan:

Hadith yang mengandungi doa ini ditentukan maudhu’ oleh Ibnu Jauzi dan Ibnu Taimiyah kerana hadith ini bertentangan dengan hadith yang meminta perlindungan daripada kemiskinan di sisi Allah s.w.t. Hadith yang dikandung doa di atas itu diriwayatkan oleh Tirmizi dan Ibnu Majah daripada Abu Sa’id Al-Khudri dan Tabrani meriwayatkan daripada A’ta dengan sanad dhaif.   

Lafaz hadith ialah:

5)   حديث: اللهم توفني اليك فقيرا ولا توفني غنيا واحشرني في زمرة المساكين يوم القيامة

“Ya Allah wafatkan daku berjumpa dengan dikau sebagai orang yang fakir dan janganlah wafatkan daku sebagai orang yang kaya serta hidupkanlah daku dalam golongan orang-orang miskin di hari akhirat.”

            Hakim mengeluarkan dalam mustadraknya dengan tambahan sedikit lafaz hadith dan ia berkata sanad hadith ini sahih. Tabrani juga meriwayatkannya daripada Ubadah bin Samit dengan sanad di mana perawi-perawinya thiqah (yang dipercayai) dengan adanya beberapa jalan periwayatan bagi hadith tersebut, sewenang-wenangnya menghukum maudhu’ terhadap hadith itu dianggap melampau. Maka ditolak bulat-bulat dakwaan maudhu’ oleh Ibnu Jauzi dan IbnuTaimiyah  mengenai hadith tersebut.

            Dijawab oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya ‘tuhfah’ berkenaan dengan maksud kemiskinan dalam hadith tersebut sambil menyatakan darjat hadith. Beliau berkata bahawa sesungguhnya hadith itu dhaif dan bertentangan dengan hadith yang meminta perlindungan daripada kemiskinan, kemudian beliau menta’wilkan makna meminta kemiskinan itu kepada makna meminta ketenangan hati. Syaikhul Islam Zakaria Al-Ansari pula berkata bahawa maksud sebenar bagi meminta kemiskinan dalam hadith tersebut ialah meminta merendah diri supaya tidak tergolong ke dalam golongan orang-orang kaya yang mempunyai sikap bongkak diri.

(كشف الخفاء ومزيل الإلباس عما اشتهر من الأحاديث على ألسنة الناس: ج 1، ص 207)

            Berdasarkan perselisihan pendapat mengenai sesetengah hadith maudhu’ seperti yang disebut sebelum ini, maka janganlah tergesa-gesa memaudhu’kan hadith. Bahkan perlu meneliti secara halusi supaya dapat memastikan dengan tepat yang mana maudhu’ dan tidak maudhu’.

JANGANLAH MUDAH MENGHUKUM  (كذب موضوع) لا أصل له

            Imam Jalaluddin Sayuti berkata  كذب موضوع بالاتفاق(hadith ini merupakan satu pembohongan lagi yang direka-reka dan perkara ini disepakati ulama’) di dalam kitabnya الدرر المنتثرة في الأحاديث المشتهرة terhadap hadith:

” لما خلق الله العقل قال له: أقبل فأقبل، ثم قال له: أدبر فأدبر، فقال ما خلقت خلقا أشرف منك فبك آخذ وبك أعطى”

Maksudnya: tatkala Allah s.w.t menciptakan akal, Allah s.w.t berfirman (perintah) kepadanya ‘maju ke hadapan atau hadaplah engkau’maka ia (akal) terus maju, kemudian Allah s.w.t berfirman lagi ‘pusing belakang atau undurlah engkau’ maka ia (akal) pun terus undur. Kemudian Allah s.w.t berfirman ‘aku tidak menciptakan suatu ciptaan yang lebih mulia daripadamu. Maka melaluimulah aku akan mengambil (tindakan) dan memberi (pemberian).

            Imam Zarkasyi juga menuruti pendapat Imam Ibnu Taimiyah di mana beliau berkata ‘لا أصل له’ (tidak menerima punca datangnya hadith itu) terhadap hadith tersebut.

            Imam Muhaqqiq (pengkaji halus)  Abdul Haiyi Lakhnawi Al-Hindi berkata dalam kitabnya (الأجوبة الفاضلة) وقد وجدت له اصلا صالحا أخرجه عبد الله بن أحمد في زوائد الزهد  maksudnya: aku dah pun menemui punca yang begitu elok datangnya hadith tersebut yang dikeluarkannya oleh Abdullah bin Ahmad (bin Hambal) di dalam kitabnya Zawaid Al-Zuhd.Hafiz ibnu hajar Al-Haitami juga menemui asal yang diriwayatkan oleh tabrani dan Al-haitami menyatakan bahawa;-

رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وفيه عمر بن أبي صالح، قال الذهبي: لا يعرف (مجمع الزوائد 8: 28)

PERINGATAN!

            Semestinya diketahui apabila didapati di dalam sesetengah kitab ulama’ mutaqaddimin (yang dahulu) yang ada menyatakan: “لم يصح في هذا الباب حديث” yang bererti: “tidak sah satu hadith pun di dalam bab ini (masalah ini)”, apa yang dimaksudkan ialah adanya Hadith Hasan dan Dhaif di dalamnya bukan mereka maksudkan setiap hadith di dalam bab tersebut adalah maudhu’ atau dusta.

(وظيفة الحديث الضعيف، ص 39)

PERHATIAN!

Di kalangan muhaddithin terdapat sekumpulan yang terlalu keras menentukan maudhu’ terhadap hadith hasan dan dhaif.

1)      (ابن الجوزي):- Beliau menuduh Imam Tirmizi memuatkan tujuh belas buah hadith maudhu’ didalam kitabnya sunan tirmizi. Ibnu Hajar mempertahankan hadith-hadith itu sebagai. Hadith hasan dan dhaif.

2)      (ابن تيمية):- Beliau menjadikan sesetengah hadith hasan  dan kebanyakan hadith dhaif sebagai hadith  maudhu’. Beliau menuruti Ibnu Jauzi.

3)      (صغاني):- Beliau juga terkenal sebagai yang terlalu keras menentukan maudhu’ terhadap hadith-hadith Hasan dan dhaif.

4)      (السيوطي):- Beliau dikenali sebagai yang mempermudah-mudahkan pada kajian hadith.

5)      (جوزقاني):- Beliau menghukum maudhu’ terhadap hadith-hadith yang begitu banyak dengan hanya menyalahi sedikit dengan sunnah. Hafiz Ibnu Hajar berkata itu adalah satu kesalahan yang di lakukan oleh beliau.

6)      (ابن حبان):- Beliau dianggap yang melampau mengenai mengkritik rawi-rawi hadith sehingga beliau sanggup mencacatkan rawi-rawi yang di percayai, seolah-olah beliau tidak sedar apa yang keluar dari fikirannya.

(الأجوبة الفاضلة، ص 170 – 179)             

KESIMPULAN:         

1)Jangan terlalu ghairah  menghukum maudhu’ terhadap mana-mana hadith.

2)Perlu mengambil kira perselisihan pendapat muhaddithin mengenai menentukan                       maudhu.’

.           3)Berhati-hatilah dengan muhaddithin yang mempunyai sikap terlalu keras menentukan 

            maudhu’ terhadap hadith hasan dan dhaif.

Semoga Allah jadikan penjelasan ini bermanafaat bagi saya dan anda semua.

                                                      SEKIAN  WASSALAM

Posted in Klinik Agama | Leave a Comment »

Perihal wanita tawar diri untuk diperisterikan

Posted by epondok di Mei 28, 2022

Dato’ Dr Haron Din
Tue | Jul 07, 09 | 12:53:57 pm MYT
SOALAN: Dato’ bolehkah atau tidak seorang perempuan menyerah diri kepada seorang lelaki untuk diperisterikan atas alasan mengikut sunnah, sepertimana berlaku pada seorang perempuan pada zaman Nabi Muhammad s.a.w, menyerah diri kepada baginda untuk diperisterikan dan baginda menerimanya sebagai isteri. Mohon penjelasan. – MAWAR UNGGU, menerusi e-mel

Jawapan : Memang benar apa yang anda nyatakan bahawa pernah berlaku pada zaman Nabi Muhammad s.a.w., seorang perempuan datang menghadap baginda dan menyerah diri kepada baginda untuk dinikahi.Malah ada beberapa orang (bukan seorang sahaja) yang menghebahkan diri mereka kepada Rasulullah s.a.w, untuk diterima sebagai isteri dan baginda telah memperisterikan mereka.

Al-Imam al-Bukhari, meriwayatkan sebuah hadis daripada A’ishah r.ha, katanya (mafhumnya): “Salah seorang yang berbuat demikian ialah Khaulah binti Hakim.”

Menurut al-Imam al-Zamakshari, ada empat orang yang menyerah diri kepada Rasulullah s.a.w. sebagai hibah atau hadiah kepada Nabi iaitu, Maimunah binti Haris, Zainab binti Khuzaimah yang dikenali dengan Ummul Masakiin, Ummus Shariq binti Jabir dan Khaulah binti Hakim.

Pernikahan Rasulullah s.a.w. dengan mereka ini adalah pernikahan yang memenuhi cukup syarat dan rukun untuk dinikahi. Malah diri baginda sendiri dalam konteks ini, baginda pernah bersabda (mafhumnya): “Saya dijadikan Allah daripada pernikahan yang sah, turun temurun daripada Nabi Adam a.s. sehingga ibu ayah saya melahirkan saya ke dunia ini.”

Namun demikian, perlulah diketahui lebih lanjut dan jelas bahawa, perempuan-perempuan yang datang menyerah diri kepada Rasulullah s.a.w., Allah telah sebutkan dalam al-Quran sebagaimana firman-Nya (mafhumnya): “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah halalkan bagimu isteri-isterimu yang engkau berikan mas kahwinnya, dan hamba-hamba perempuan yang engkau miliki daripada apa yang telah dikurniakan Allah kepadamu sebagai tawanan perang; dan (Kami telah halalkan bagimu berkahwin dengan sepupu-sepupumu, iaitu): anak-anak perempuan bapa saudaramu (daripada sebelah bapa) serta anak-anak perempuan emak saudaramu (daripada sebelah bapa), dan anak-anak perempuan bapa saudaramu (daripada sebelah ibu) serta anak-anak perempuan emak saudaramu (daripada sebelah ibu) yang telah berhijrah bersama-sama denganmu; dan (Kami telah halalkan bagimu) mana-mana perempuan yang beriman yang memberikan dirinya kepada Nabi (untuk dikahwininya dengan tidak membayar mas kahwin) kalaulah Nabi suka berkahwin dengannya; perkahwinan yang demikian adalah khas bagimu semata-mata, bukan bagi orang-orang yang beriman umumnya; sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada orang-orang mukmin mengenai isteri-isteri mereka dan hamba-hamba perempuan yang mereka miliki; – supaya tidak menjadi keberatan bagimu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” (Surah al-Ahzab, ayat 50)

Ayat tersebut, dengan jelas dan nyata bahawa Allah menyebut perihal perempuan yang datang, menghibah atau menghadiahkan dirinya kepada Nabi s.a.w. ialah khusus untuk Rasulullah s.a.w. sahaja, bukan untuk umatnya.

Apabila ianya khusus untuk Nabi, maka ia sama sekali tidak boleh dijadikan alasan untuk ia menjadi sunnah. Oleh kerana itu, maka ia tidak boleh diamalkan.

Diriwayatkan oleh perawi hadis yang mahsyur dari jalan (tariq) sahal, dalam kitab-kitab yang sahih, disebut perihal seorang perempuan datang menghadiahkan dirinya kepada Rasulullah s.a.w., untuk dijadikan isteri, akan tetapi baginda terdiam tidak menjawab apa-apa.

Bagaimanapun ada seorang sahabat memecah kesunyian itu dengan berkata, “Ya Rasulullah, sekiranya Rasulullah tidak berhajat kepadanya, maka nikahkan saya dengannya.”

Lalu baginda memerintahkan sahabat itu menyediakan mahar, akhirnya kedua-dua mereka dinikahkan baginda.

Semua keterangan ini jelas membuktikan bahawa dalam kes hibah (hadiah) atau serah diri memang berlaku. Rasulullah s.a.w berkahwin dengan cara hibah, tanpa mahar sebagai suatu keistimewaan untuk diri baginda.

Adapun untuk diri kita, umatnya pada waktu ini, perkahwinan hibah ini tidak berlaku.

Yang boleh berlaku ialah perkahwinan biasa yang memenuhi syarat nikah, barulah sah perkahwinan. Wallahua’lam. – lanh _

Posted in Klinik Agama | Leave a Comment »